UNTUK urusan kecintaan pada bangsa dan negara, orang Amerika jelas juaranya. Mereka begitu bangga sebagai orang Amerika.
Tengok film-film Hollywood, kelihatan betul kesan America is the greatest country in the world.
Orang Amerika juga begitu pongahnya sampai-sampai abad ke-20 kemarin
mereka klaim sebagai The American Century. Saat diserang teroris pada 11
September 2001, orang Amerika bersatu mengerek bendera mereka
tinggi-tinggi.
Melihat itu, kadang saya iri, kapan kita memiliki kebanggaan serupa? Kapan garuda dan merah putih bisa kita bangga-banggakan? Ternyata tak perlu lama setelah patriotisme Amerika tersulut
peristiwa 9/11, rasa nasionalisme kita pun mendadak bangkit. Saya duga,
pemicunya, adalah kelakuan jiran kita, Malaysia. Tanpa permisi, Malaysia
mengklaim kebudayaan yang muasalnya dari Indonesia sebaagai warisan
budaya nasional mereka. Batik, reog, tempe, dan entah apa lagi mereka
klaim. Hal itu terjadi selewat pertengahan 2000-an, hanya beberapa tahun
lalu. Sejak itu, hubungan Indonesia-Malaysia, terutama di akar rumput
dan dunia maya sangaat tidak akur.
Di lain pihak, entah bagaimana efek peristiwa itu memecut kesadaran
nasionalisme kita yang lama terkubur. Yang bikin fenomena kebangkitan
rasa nasionalisme kali ini terasa lain, gerakan sosial ini bukan
dikomandoi pemerintah, melainkan rakyat, terutama dari kelas menengah.
Dari gerakan sosial ini muncul istilah “Indonesia United”, good news from Indonesia untuk menunjukkan masih banyak hal yang bisa dibanggakan dari Indonesia, sampai gerakan pakai batik ke kantor.
Gerakan sosial ini juga kerap disebut “nasionalisme keren” ataupun
“Indonesia keren” karena sekarang berkaus dengan lambang Garuda
Pancasila, bendera merah putih, dan tulisan “I Love (tanda hati)
Indonesia” sama kerennya dengan pakai kaus berlambang Nike atau Adidas.
***
Dan, ah, gerakan “Indonesia keren” ini juga merambah bidang lain, baik dari novel hingga film.
Film paling anyar yang menyodorkan nilai “Indonesia keren” adalah 5 cm., diangkat dari novel laris Donny Dhirgantoro.
Novelnya terselip di lemari buku saya, tapi saya tak menuntaskan
membacanya. Bagi saya, ibarat makanan, novelnya bukannya tak lezat,
hanya saja terasa terlalu gurih. Segala idiom dan referensi yang
sebetulnya khas dan dekat bagi generasi saya, terasa terlalu membumbui
cerita.
Saya menonton versi filmnya tempo hari dan senang mendapati filmnya
berada senafas dengan novelnya, namun tampak menghilangkan idiom dan
referensi kultural jagad pop yang bertebaran di novel. Saya senang
filmnya tidak membahas Before Sunrise dan Before Sunset atau menampilkan cuplikan lagu era 1990-an.
Ini pilihan kreatif yang jitu dari Rizal Mantovani, sutradaranya, dan
kerendahan hati penulis novelnya. Memaksakan memasukkaan referensi
jagad pop 1990-an ke film yang hadir bagi penonton tahun 2012 akan
membuatnya terasa “jadoel” sekaligus out of context. Versi film
telah cukup mengambil inti sari yang ingin disampaikan novelnya. Dan
bagi saya, filmnya telah menunaikan tugasnya dengan baik.
***
Sekarang
membicarakan pesan kisahnya. Ah, ternyata memang dari mana kisahnya
berasal sudah bertema “nasionalisme keren”, maka mau tak mau filmnya pun
begitu. Lima sahabat, Arial (Denny Sumargo), Ian (Igor Saykoji), Zafran
(Herjunot Ali), Riani (Raline Shah), Genta (Fedi Nuril), yang sudah
berteman bertahun-tahun akhirnya memutuskan “break” sebentar untuk
sepakat bertemu tiga bulan kemudian. Selama tiga bulan itu, mereka
berlima tak saling komunikasi.
Genta yang punya ide itu mengumpulkan sahabat-sahabatnya, plus adik
Arial, Arinda (Pevita Pearce) yang minta ikut, di stasiun kereta Pasar
Senen. Mereka berenam berangkat menuju Malang lalu melanjutkan
perjalanan terakbar dalam hidup mereka: menaklukkan puncak tertinggi
Jawa, puncak Mahameru.
Di sini filmnya mampu memperlihatkan bukti nyata pada kita semua
kalau negeri ini memang sangat indah. Rizal hampir tak perlu melakukan
apapun kecuali mensyut gambar-gambar indah tersebut.
Namun, seperti novelnya, filmnya kemudian terasa lebay. Dialog yang mungkin di novel terasa enak dibaca dan menggugah kemudian dilantunkan para tokohnya selayaknya mantra:
“Cuma kaki yang akan berjalan lebih jauh dari biasanya.”
“Tangan yang akan berbuat lebih banyak dari biasanya.”
“Mata yang akan menatap lebih lama dari biasanya.”
“Leher yang akan lebih sering melihat ke atas.”
“Lapisan tekad yang seribu kali lebih keras dari baja.”
“Hati yang akan bekerja lebih keras dari biasanya.”
“Serta mulut yang akan selalu berdoa.”
Lalu setelah semua ketegangan pendakian, kita melihat para tokoh kita
menaikkan bendera merah putih dan masing-masing mengucap janji kesetian
dan cinta pada tanah air. Ian bahkan berseru, “ Yang berani nyela
Indonesia, ribut sama gue.”
Pada titik ini saya merasa “nasionalisme keren” ini sudah semakin berlebihan alias lebay.
Memang lazim anak gunung bawa bendera merah putih lalu menggelar
semacam upacara bendera di puncak gunung, tapi berkhotbah soal
nasionalisme? Mungkin ada. Tapi itu terasa lebay.
Tapi, yang ingin saya tekankan, lebay boleh asal jangan
kebablasan. Nasionalisme kebablasan ujung-ujungnya menjadi chauvinisme,
menganggap bangsa sendiri kelewat hebat dan menganggap bangsa lain
rendah, atau bahkan harus dibasmi. Pandangan ultra-nasionalis macam
begini yang menyebabkan horor genosida abad kemarin di Jerman zaman Nazi
Hitler atau perang Serbia-Bosnia.
Saya berharap, nasionalisme lebay cukup berhenti lewat
kesadaran “Indonesia keren” di buku, film, TV, atau paling jauh perang
dunia maya. Saya tak membayangkan suatu hari kita berperang dengan
Malaysia cuma kaarena sikap lebay dalam ber-nasionalisme.
5 cm., dengan penyajian yang asyik telah menyodorkan kita
satu tesis lagi tentang nasionalisme keren kalangan muda. Mereka
mencerminkan gerakan sosial saat ini yang tetap bangga pada Indonesia,
meski negeri ini selalu dalam status salah urus.
***
Saya ingin akhiri tulisan ini sambil menengok adegan pembuka episode awal serial The Newsroom (HBO), saat tokoh utamanya bilang pada khalayak ramai “America is not greatest country in the world.”
Rasa nasionalisme orang Amerika tergoret waktu kalimat itu diucapkan.
Berbagai data dan fakta yang menunjukkan Amerika bukan negara terhebat
digelontorkan.
Pesan utama adegan itu justru ada pada seorang tokoh lain yang memegang kertas di antara kerumunan hadirin. Pesannya, “America is not the greatest country in the world, but it can be.”
Saya pikir begitu pun dengan Indonesia. Negeri kita jelas bukan bangsa
terhebat di dunia, tapi kita bisa menjadi bangsa terhebat.
Seperti di novel dan filmnya, caranya dengan menggantungkan impian
itu di depan kening. Jangan menempel. Biarkan menggantung 5 centimeter
di depan kening. Jadi impian itu nggak akan pernah lepas dari mata
kita.***
Komentar